13 Mei 2008

Aji Mumpung, Latah ataukah Selera Pasar?

Saat ini sering kita menemui buku/novel yang mirip, apakah itu judul, cover ataupun ceritanya. Memang tidak mirip betul sih, tetapi layout dan setting cerita kurang lebih sama.

Banyak dalih yang melatar belakangi, tetapi yang paling utama adalah selera pasar yang menentukan. Betulkah?

Best Sellernya suatu buku, pasti akan diikuti oleh terbitan-terbitan sejenis.

Novel Ayat-ayat Cinta, contohnya, dengan meledaknya penjualan novel tersebut, segera saja diikuti oleh puluhan novel berjudul mirip, ide covernya pun dijiplak, setting cerita (pesantren, timur tengah, religius) pun dicontek dengan suksesss.

Kalau para penerbit dan pencipta buku "latah" tersebut ditanya, jawaban bisa diperkirakan, saat ini pasar novel seperti itu, sedang digandrungi. Betullll???


Padahal, jarang sekali, (ada nggak ya?) novel pengekor yang melebihi kesuksesan novel yang diikuti Bahkan untuk menyamainya pun kayaknya susah banget.

Memang belum ada penelitian, berapa persenkah para pengekor tersebut mencapai kesuksesan seperti yang dicapai oleh Novel best seller tersebut.

Kalau pun tidak laku, mengapa tren novel seperti itu diikuti juga oleh iklan, sinetron, film dll.

Sebegitu parahkah selera pasar kita??

13 komentar:

Gadis mengatakan...

menurut aq sekarang latah, kalo film itu meledak, pasti ada sinetronnya :D

Gudang Kambing mengatakan...

kata orang Jawa, latah itu diistilahkan dengan rog-rog asem (ada A sukses, maka pada meniru A semua, ya itulah salah satu sifat kodrati manusia = modelling. Ada lagi proses penciaptaan sesuatu melalui beberapa pengalaman (sendiri,orang lain, baca, dll) = konstruktivism, dan masih banyak sifat manusia yang lainnya

Mama Shahira dan Syafiq mengatakan...

iya betul tuh mbak.. kebanyakan yang jadi pengikut, mungkin pingin niru suksesnya..padahal gak bakal sukses ya kalo caranya seperti itu..

Garasi Baca d'books mengatakan...

to : gadis & mama shasha shahira

sebel juga sih ngelihat yang latah kayak begitu, tapi kok juga laku ya meski kualitas jauh berbeda, contoh, sinetron atau buku latah, tetep aja banyak yang nonton or beli, wong yang pasang iklan di sinetron itu juga banyak.

Garasi Baca d'books mengatakan...

to mas Damar (gudang kambing)
konteks untuk meniru yang positif memang bagus, malah dianjurkan, contoh, meniru orang sukses.
Tapi kalau latah hanya untuk konteks aji mumpung ya parah sih....

Anonim mengatakan...

itu potret manusia indonesia yg ga kreatip.. ;(

Anonim mengatakan...

Latah boleh aja, asal jangan copy paste aja. Resiko dari kelatahan adalah konsekuensi g bisa sesukses dari yang pertama.

Anonim mengatakan...

yaa tapi lumayanlah..dari pada bengongggggggggg hehhe

Maya mengatakan...

sepertinya membudaya sekali ya latah ini...
sungguh aneehh ...

Firman Rissaldi mengatakan...

Komen telat nih ...
Menurut saya gak ada salahnya meniru, biar pasar yg menilai hasilnya. Yang terpenting harus meniru prosesnya, apalagi sampai memahami suasana hati orang sukses ketika bekerja.
Selanjutnya bagaimana kita memberikan Value Added.

btw ... sekolah & kursus juga bagian dari proses meniru. Salam kenal tuk semua.

Garasi Baca d'books mengatakan...

thanks komen nya mas Firman, setuju mas, yang harus ditiru adalah proses....dan harus ada value added, dan biarkan masyarakat menilai, tapi kalau ilustrasi cover novel pun juga ditiru...wah value addednya dimana ya...

Keke Naima mengatakan...

mnrt sy sih bukan pangsa pasarnya yg parah, tapi org2 yg berkreasi yg parah mereka msh menganggap pasar yg ada ini org yg bodoh. Pdhl semua hasil kreasi baik itu buku, film, musik, dll yg sifatnya ikut2an pasti hasilnya gak akan melebihi yang aslinya. Jadi siapa yg bodoh skrg, pasar atau pembuat pasarnya?

Selimut Anakku mengatakan...

menurut aku bukan seleran pasarnya yag parah, tapi selera yang punya ide kreatif yang parah, gak punya kreatifitas tapi tetap berusaha mencipta...halah..bahasaku...